Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM rutin mengadakan diskusi sastra tiga bulan sekali. Acara ini dimaksudkan sebagai pergesekan atau persentuhan antar penyair dari generasi yang berbeda, yang dirasakan mempunyai perspektif atau wawasan estetik yang berbeda. Senin (14-07) malam, PKKH UGM menggelar kembali Diskusi Sastra Nasional yang membahas cerpen Perempuan yang Disingkirkan karya A.S. Laksana.
Pembahas diskusi kali ini adalah I Made Iwan Darmawan (Sastrawan) dan Sarwo Ferdi Wibowo (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM) yang dimoderatori oleh Fransiskus Tri W.S.. Sebelum diskusi dimulai, aktor film Landung Simatupang membacakan cerpen Perempuan yang Disingkirkan.
Cerpen ini bercerita tentang Katip Mustopa Jember—pensiunan menteri agama—yang terus-terusan diperas oleh dua oknum karena kasus lamanya. Katip akhirnya merasa terganggu dan atas saran seorang dukun ia membangun rumah peristirahatan di sebuah dusun. Di dusun itu hal-hal magis terjadi, seperti kutang terbang, meriam yang mengucurkan air mata dan biawak padang pasir yang memiliki dua alat kelamin yang keluar dari sebuah gua di dusun itu.
Menurut Iwan, pembaca selalu memerlukan ruang imajinasi atas apa yang dibacanya. Bila pembaca bisa tuntas membaca cerpen ini dalam satu kali tarikan nafas, pastilah tak bisa berimajinasi sama sekali. Susunan kata yang disajikan A.S. Laksana cukup rumit untuk dikunyah dalam sekali gigitan, yang terkadang paragraf satu dan yang lain tampak tak punya kaitan. “A.S. Laksana tidak membuat lompatan (dunia sekarang ke dunia lain), tapi rembesan dari logika kekinian ke dunia yang melebihi dongeng,” kata Iwan.
Sarwo mengatakan bahwa A.S. Laksana dalam cerpennya ini mendorong batas-batas unsur realis dan magis sehingga semuanya kabur dan sulit dibedakan mana yang nyata (rasional) dan yang tidak (irrasional). Penggunaan dua paradigma, realisme sekaligus magis, lewat cerpen ini meniscayakan munculnya banyak persepsi akan kebenaran. Menurut Sarwo, pengalaman kita dalam hidup sering kali tidak dapat dijelaskan secara empiris. Baginya, Setelah membaca cerpen ini kita mungkin percaya bahwa usaha-usaha manusia menginterpretasi fakta untuk menemukan kebenaran, dengan satu paradigma tertentu saja, malah semakin menjauhkan manusia dari kebenaran itu sendiri. Bahwa dunia tanpa kacamata paradigma adalah keajaiban dalam keseharian atau keseharian yang merupakan keajaiban itu sendiri,” tuturnya. (Rananda Satria)