Oleh: Pramodana
Di Bonbin yang kosong, seseorang bisa menoleh ke arah mana-mana dan tidak akan menemukan apa-apa selain kenangan (bpmfpijar.com/Pramodana)
Yu Par, pedagang Kantin Plaza BI (Bonbin), meninggalkan bilik dagangan sejak pengumuman kuliah daring. Ia, saat ini, menghidangkan soto setiap hari, bukan hanya di hari Sabtu seperti saat berjualan di kampus. Di warung sotonya, di depan Asrama Mahasiswa Darmaputera Santren yang sepi, ia mengingat pelanggan-pelanggannya dan menceritakan perjalanan mempertahankan jualannya yang terombang-ambing pandemi dan kebijakan kampus.
Sudah lima bulan, ia berjualan di sana, mengontrak kepada Kedai Kopi Manut. Seperti sekolah pagi-sore, ia mendapat waktu jualan pada siang hari, bergantian dengan kedai kopi yang buka pada malam hari. Pemberi kontrak membiarkan daftar menu miliknya terpajang sehingga sekali waktu seseorang memesan kopi tubruk. Alih-alih langsung menolak, Yu Par justru menawarkan nescafe panas.
Pandemi, ujar Yu par, memang menyulitkan banyak orang dan mengubah hidupnya. Ia kehilangan langganan dan pemasukan terjun bebas.

Biarpun begitu, soto Yu Par senantiasa merawat cita rasa. Tanpa mengenakan pengawet buatan, resep miliknya meresap sampai ke detail-detail soto: kuah, kol, tulang, dan daging ayam atau sapi. Akan tetapi, ia tetap menghargai selera setiap lidah; garam, cuka, sambal, kecap, dan nipis tersedia di atas meja. Gorengan panas juga tersaji sebagai kudapan.
Dengan segala usaha tersebut, penjualan tetap saja tidak meningkat. “Di sini, kadang sehari aku cuma menjual dua mangkok, dan di hari lain cuma semangkok. Hasil itu untuk biaya hidup sehari-hari saja tidak cukup, sering juga tidak tutup modal,” jelasnya. Namun, ia tetap bersyukur masih berjualan. Ia tidak bisa membayangkan sesamanya yang kini tidak berjualan. Suryanto dan Lilik, dua rekannya yang sempat berjualan bersamanya, kini mesti menutup dagangannya masing-masing karena sepi pembeli.

“Ya, Allah memang selalu memberi rezeki, tapi, caranya itu unik: yang punya tanah, ya, ngetok tanah; aku punya motor, ya, jual motor,” ujarnya.
Kemudian, Yu Par mengulurkan tangan kanan sebelum menariknya kembali dari suatu tempat yang ia bayangkan sebagai laci. Perlahan-lahan. “Habis uangnya, selembar-selembar, padahal kuambil cuma buat sehari-hari,” ujarnya.
Karena itu, kalau diizinkan, Yu Par ingin segera kembali berjualan di kampus. Ia mengatakan bahwa ia sudah mengikuti seminar daring yang diselenggarakan kampus mengenai tata cara berjualan dalam kondisi pandemi. Karena itu, ia pun menyatakan kesiapannya mengikuti protokol kesehatan. Selangkah lebih jauh, ia telah berencana untuk menjual makanan dalam kotak boks dan hanya menerima pembayaran digital.

Bukan hanya pedagang, mahasiswa juga merindukan kantin. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada beberapa mahasiswa ke kampus hanya untuk duduk-duduk di kantin. Mereka memesan minum dan makan seperti kena sirep atau cuma bengong. Asap rokok dari beberapa di antara mereka bertahan lebih lama daripada uap masakan pedagang. Di sana, riuh-rendah obrolan mereka lebih bertenaga, jauh meninggalkan kesenyapan ruang kelas.
Maheswara Nusantoro, mahasiswa Fakultas Filsafat, mengungkapkan kerinduannya pada Bonbin. Di sana, ia menuturkan bahwa bisa makan dengan harga terjangkau, berdiskusi, dan bertemu teman. “Banyak dinamika yang terjadi di kantin,” ujarnya.
Maheswara pun merasa kecewa atas penutupan kantin. Ia memahami bahwa kantin itu merupakan sumber pendapatan pokok bagi beberapa orang.

Pembukaan kantin kampus di masa pandemi, menurut Maheswara, merupakan sebuah tantangan sekaligus peluang yang bisa diwujudkan. Kantin kampus, lanjutnya, bisa menjadi percontohan bagi kantin di luar kampus dalam pelaksanaan protokol kesehatan secara ketat. Kantin kampus semestinya bisa berperan ketika banyak warung makan di mana penjualnya tidak memakai masker. “Bukan justru memberhentikan operasional secara full,” ujarnya.
Selain itu, Maheswara menyatakan bahwa kantin tetap dibutuhkan bahkan ketika kuliah daring. Kegiatan-kegiatan luring seperti kunjungan perpustakaan, pengurusan skripsi, dan lain sebagainya, tentu saja membutuhkan fasilitas penunjang. Apalagi di semester depan, di mana ia berharap kampus mengadakan kegiatan luring lebih banyak lagi. “Untuk kantin, tentu saja harapan saya bisa beroperasi kembali dengan alasan tersebut,” ujarnya.

Berkebalikan dari harapan mereka, Panut Mulyono, Rektor UGM, menandatangani surat edaran bertanggal 15 Desember 2020 tentang panduan kegiatan belajar-mengajar (KBM) semester genap tahun ajaran 2020/2021, tidak mengizinkan kantin untuk beroperasi meskipun mengizinkan pelaksanaan KBM bauran (daring-luring). Di bagian prinsip umum surat tersebut, poin (g.) berbunyi “kegiatan yang berpotensi menyebabkan kerumunan, kontak jarak dekat seperti kantin, co-working space, kegiatan kokurikuler, dan ekstrakurikuler tidak diizinkan untuk diaktifkan dan diselenggarakan”.
Selama semester ganjil 2020/2021, para pegawai tetap masuk kampus seperti biasa. Karyanto, petugas keamanan di Fakultas Filsafat, menjelaskan bahwa jam kerja tetap sama dengan jadwal masuk yang berbeda; kadang sehari masuk, kadang dua hari masuk, dan lebih banyak hari libur juga. “Kita masih melakukan pengecekan, patroli, seperti biasa, cuma kita lebih santai karena tidak banyak kegiatan,” ujarnya
Setiap pagi, mereka tetap menaruh jari di mesin absensi, menunggu suara perempuan dari pengeras suara, selama sekian detik, untuk melanjutkan hidupnya. Terima kasih atau Silahkan, coba lagi. Orang-orang dari tempat jauh menentukan hidup yang dekat. Untuk saat ini, mereka mesti cuci tangan semenit dahulu.
Meski banyak waktu bersantai, tanpa adanya kantin yang buka, sekarang tidak ada orang yang nongkrong. Selain itu, kantin yang tutup membuat Karyanto harus keluar kampus untuk mencari makan atau mbontot dari rumah. Menurutnya, jika kuliah luring dilaksanakan tanpa adanya kantin yang beroperasi akan menyulitkan mahasiswa.

Ahi Rohinge, pengelola Bonbin, tidak mempermasalahkan surat edaran rektor mengenai KBM semester genap 2020/2021. Ia mengetahui bahwa virus corona semakin hari semakin memburuk. Akan tetapi, ketika kampus tidak sepenuhnya tutup, menurutnya, kantin tetap dibutuhkan para pegawai dan sivitas akademika. “Mereka (para pegawai kampus) kan tetap masuk sehingga membutuhkan konsumsi harian juga,” ujarnya.
Ya, penutupan kantin memang bukan hal yang baru. Ahi menjelaskan bahwa Bonbin telah tutup semenjak keputusan kuliah daring di semester genap tahun ajaran 2019/2020. Namun, keputusan tersebut tidak membuat kampus berhenti beroperasi sepenuhnya. Semisal, perpustakaan dan pengurusan skripsi tetap berlangsung.
Karena itu, Bonbin sempat beroperasi selama pandemi. Di bulan Juli, mereka membuka dua warung milik Yu Par dan Lilik. Pembukaan ini, kata Ahi, berdasarkan izin dan rekomendasi dari Fakultas Filsafat, selaku penanggungjawab Bonbin.
Bonbin buka hanya empat hari sebelum satgas COVID meminta mereka menghentikan aktivitas. Ahi menjelaskan alasan pemberhentian aktivitas di Bonbin karena Satgas COVID menilai Bonbin belum menerapkan protokol kesehatan sesuai standar UGM.
Meskipun, pada saat itu, pengelola Bonbin telah melaksanakan pengecekan suhu, pengurangan jumlah kursi, dan penjarakan antar meja. Ahi menuturkan penerapan ini berdasarkan survei internal pengelola pada kantin yang beroperasi yakni Foodcourt UGM. Sementara itu, Foodcourt UGM sendiri masih beroperasi sampai saat berita ini dituliskan.
Di awal semester ganjil 2020/2021, Ahi bersama pengelola kantin kampus lainnya juga mengadakan pertemuan dengan Direktorat Mahasiswa (Ditmawa). Pada pertemuan itu, mereka membahas tata kelola dan ruang kantin untuk tetap beroperasi saat pandemi. Namun, sampai saat ini, belum ada tindak lanjut dari Ditmawa setelah pembicaraan.

Senada dengan Yu Par, Ahi pun menyatakan kesiapannya untuk beradaptasi dan berusaha untuk tidak menimbulkan kerumunan di Bonbin. Ia berencana hanya melayani bungkusan dan tidak untuk makan di tempat. Untuk itu, ia bersedia menyingkirkan meja dan kursi di kantin meskipun akan menghilangkan kultur Bonbin yang terkenal sebagai tempat srawung.
Yu Par pun tidak mempermasalahkan pembukaan dengan cara tersebut. “Asal diberi aturan yang jelas tertempel di kantin, biar orang-orang juga tahu,” ujarnya. Karena, bagaimanapun juga, kampus merupakan tempat ia berjualan sejak tahun 80-an.
Saat empat hari berjualan di kampus, Yu Par mengaku bahwa hasil dagangannya sudah cukup untuk sehari-hari. Walaupun jumlah penghasilan tidak sebaik saat sebelum pandemi, tetapi baginya jauh lebih baik daripada berjualan di luar. “Sehari di sana aku dapat empat ratus ribu. Di sini, lima bulan tidak pernah dapat segitu sehari,” ujarnya.
Lantas, Yu Par menegaskan, “jualan di luar bikin tombok!”
(Pramodana/Isabella/Ayom Mratita)