Jumat (28/2), Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (PSP UGM) menggelar diskusi yang tertajuk “Batas-Batas Campur Tangan Negara atas Tubuh dan Pikiran Warga Negara”. Diskusi tersebut dibersamai oleh Agus Wahyudi, Ph.D (Wahyudi) selaku pemantik diskusi, Achmad Munjid, Ph.D (Munjid) selaku moderator, dan dihadari puluhan peserta dari berbagai kalangan.
Wahyudi memulai diskusi dengan memaparkan ajaran ragam konsepsi kebaikan. Menurutnya, konsepsi kebaikan dapat diasumsikan ke dalam kondisi masyarakat majemuk yang harus menerima pluralisme sebagai fakta permanen. Ia memberikan satu contoh ragam konsepsi kebaikan, misalnya Islam yang memiliki banyak interpretasi bukan hanya sebuah konsep tunggal agama di masyarakat. “Jadi, ada banyak konsepsi kebaikan, sebagian diantaranya merupakan gagasan menyeluruh yang bukan hanya mengatur pada kehidupan privat tetapi juga publik”, tegasnya.
Berangkat dari konsepsi tersebut, Wahyudi yang juga merupakan dosen di Fakultas Filsafat UGM, memberikan gagasan bahwasanya negara harus menjamin hak-hak kemerdekaan tiap individu masyarakat dalam ruang lingkup pengelompokan masyarakat sipil. “Faksi atau pengelompokan masyarakat itu penting, ibarat seperti api dan udara. Namun, tidak sebatas itu ketika membicarakan campur tangan negara atas kepentingan rakyatnya, negara harus sampai pada urusan privat individu warga negara”, imbuhnya.
Lantas, bagaimana kaitan batas antara negara dengan rakyat dalam ranah privasi. “Privasi menunjuk pada individu menikmati ruang yang sendiri, baik berupa fisik maupun nonfisik”, jelas Wahyudi yang akrab dengan sapaan Awe.
Hal yang menarik bagi Wahyudi bahwasanya privasi tidak hanya dapat dipahami sebagai sesuatu yang harus dilindungi dan dihormati oleh negara ataupun sesama individu. Itu karena bagian dari keinginan kehidupan sosial atau watak individual untuk berpartisipasi dalam masyarakat.
“Jadi dalam hal ini ada hal-hal privat yang boleh diintervensi oleh negara, yang privat tidak semestinya selalu privat tetapi bisa menjadi publik”, imbuh Wahyudi.
Tetapi Wahyudi mengecualikan hal-hal yang boleh diintervensi oleh negara itu ketika privasi atau ranah individualitas dari seseorang disinyalir akan memberikan dampak buruk terhadap individu atau kelompok masyarakat lain. Seperti misalnya, ia mencontohkan, ketika ada seseorang yang bertindak provokatif dengan meneriakkan “Bunuh!” atau yang lainnya, maka negara dalam artian polisi sebagai aparat keamanan boleh melakukan tindakan pencegahan terhadap provokator tersebut karena akan membahayakan orang lain.
Isu yang diperbincangan tentang campur tangan negara terhadap tubuh dan pikiran warga negara dalam diskusi ini adalah kaitanya dengan kebebasan beragama. Mengutip dari jurnal yang berjudul “The Checking Interpretation Religion of Indonesia”, Wahyudi mengatakan bahwa apalah artinya pemerintah memiliki otoritas untuk mencampuri soal cara-cara beribadah. Ia juga mengamati jika kondisi permasalahan isu agama yang sekarang menjamur ini imbas dari ambiguitas dari direfensiasi agama dan negara di Indonesia. “Ketidakjelasan hubungan antara negara dan agama terlihat ketika rezim Orde Baru mengatakan Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler, selain itu dari Pasal 29 UUD ’45 juga mengandung ambiguitas ketika definisi Tuhan itu tidak jelas menunjuk kepada siapa”, jelasnya.
Kemudian, beranjak dari konsep paradoks toleransi oleh Karl Popper, Agus Wahyudi, Ph.D mengamati adanya ancaman lain yaitu adanya sikap toleransi yang tidak terbatas dari masyarakat. “Tidak ada yang namanya toleransi yang tidak terbatas, karena itu justru akan mengarah pada hilangnya toleransi”, tandasnya.
Dalam pemaparanya yang terakhir, Wahyudi menyarakan agar negara hadir dan berdiri kokoh menegakkan prinsip toleransi yang tidak berat sebelah disetiap persoalan nasional yang akan menimbulkan pergesekan. “Politisi sering menggunakan bahasa-bahasa yang hanya membuat orang merasa tenang, sedangkan subtansi problem utamanya tidak diselesaikan, maka masyarakat perlu sikap kritis terutama generasi muda agar selalu mengkaji dan mendalami nilai-nilai Pancasila”, tambahnya.
Dalam sesi tanya jawab, Banur memberikan pandangan berbeda dari pemaparan yang disampaikan oleh Wahyudi. Ia mengungkapkan jika segara urusan mengenai Pancasila sudah selesai dan tidak perlu diperdebatkan lagi. “Membawa Pancasila kembali ke komparasi dengan Piagam Jakarta adalah suatu tindakan yang justru dapat menggiring kita bertindak intoleransi karena salah tafsir yang membenturkan agama-agama”, ucap Banur.
Akan tetapi, Munjid menyatakan bahwa sejatinya diskusi PSP UGM merupakan diskusi akademik. Sehingga tidak ada salahnya untuk mengkaji Pancasila dari sudut pandang manapun. Semua ini, kata Munjid, demi kemajuan Pancasila itu sendiri.
Seusai diskusi, Fajar yang merupakan salah satu peserta diskusi dari STKIP PGRI Trenggalek merasa bersyukur dapat mengikuti jalannya diskusi ini. “Saya datang jauh-jauh dari Trenggalek, acara tadi memberikan wawasan positif untuk dapat saya jadikan modal berfikir dan mengkritisi setiap isu-isu nasional, semoga UGM rutin mengadakan diskusi ini”, komentar Fajar. Diskusi kali ini merupakan salah satu seri diskusi rutinan dari Pusat Studi Pancasila UGM yang bertujuan untuk mengembangkan Pancasila sebagai kebenaran yang hidup (a living truth) dan mengkaji berbagai teori, paham pemikiran untuk kemajuan bangsa.
(Haris/Pramodana)