Ayo ke Psikolog!

Oleh: Anju Gerald, Mahasiswa Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

0
843
(bpmfpijar.com/Raehan)

Yang-batiniah, yang-mental mulai lumrah diperbincangkan sehari-hari. Celetukan seperti “Mungkin kamu lagi capek”, “Kamu burnout, istirahat aja dulu!”, “Hidup ini memang sulit, jadi kontrollah yang bisa dikontrol!”, dan lain sebagainya kerap kali muncul. Seakan berupaya mengemas kondisi kepala kita hanya kepada personal masing-masing. Pertanyaannya, apa benar demikian? Bagaimana masalah kesejahteraan mental ini melanda? 

Menurut Global Burden of Disease (2019), 12,5% orang di seluruh dunia hidup dengan gangguan kesejahteraan mental. Gangguan kecemasan dan depresi menjadi bentuk yang paling umum Angka-angka tersebut membias pada generasi muda secara global. Akibatnya, menurut data World Health Organization (2023), bunuh diri menjadi  penyebab kematian nomor empat pada rentang usia 15-29 tahun. Mereka yang lebih muda mendapat skor lebih rendah pada skala kesejahteraan daripada mereka yang lebih tua. Mereka yang menganggur dan mereka yang menjadi ibu rumah tangga secara penuh memiliki skor lebih rendah daripada mereka yang bekerja full time maupun paruh waktu. Secara spesifik, perempuan memiliki skor kesejahteraan yang lebih rendah daripada laki-laki.

Realita yang demikian seakan pilih kasih ketika secara spesifik menyasar kepada kelompok dengan kerentanan tertentu yang melekat padanya. Seakan tebang pilih pada kelompok-kelompok yang hendak dieksploitasi.  Sementara itu, di antara kelas pemodal maupun pengusaha kecil, ada hubungan yang lebih proporsional antara jumlah pasien psikiatri dan jumlah individu dalam populasi (Hollingshead et al., 2007). Namun, kelas pekerja secara tidak proporsional mengalami gangguan kesejahteraan mental. Ditambah, sangat mungkin pekerja tidak menerima bantuan yang proporsional. Mengapa demikian? 

Sederhana saja, dari mana kelas pekerja mendapat akses? Dari mana kelas pekerja memiliki uang untuk membayar biaya konsultasi psikologis? Dengan demikian, sah saja kita berpostulat bahwa gangguan kesejahteraan mental bukan semata sesuatu yang secara negatif memengaruhi semua orang secara setara terlepas dari strata sosialnya. Namun, sebenarnya masalah ini dapat dilihat dalam struktur pengorganisasian masyarakat hari ini: kapitalisme-neoliberal. Tulisan ini berupaya untuk menunjukkan relasi antara isu kesejahteraan mental terhadap struktur ekonomi-politik yang lebih luas serta apa yang dapat dilakukan.

Kapitalisme dan Alienasi

Jika kita mengamini bahwa gangguan kesejahteraan mental secara tidak proporsional memengaruhi kelompok rentan yang dieksploitasi dalam masyarakat, bagaimana kita dapat mendeskripsikan klaim-klaim ini bermula? Bagaimana kita dapat menunjukkan bahwa kapitalisme turut berpartisipasi aktif dalam menghasilkan informasi tadi? Di sinilah pentingnya konsep alienasi.

Dalam “Manuskrip Ekonomi dan Filsafat 1844” yang ditulis oleh Karl Marx, terpaparlah gambaran pahit akan nasib manusia di dalam dunia. Ketika manusia teralienasi dari dirinya sendiri, dari sesama, dan dari esensi kehidupan yang hakiki. Tentu saja, Marx mendasarinya pada hal paling nyata, paling riil, dan paling konkret dalam diri manusia, yakni soal urusan perut, urusan penghidupan, dan urusan produksi.

Marx merenungkan bahwa dalam produksi, setiap individu akan memperkuat dirinya sendiri dan orang lain. Dalam produksi, individu akan memperlihatkan karakteristiknya dan menikmati hasil karya tersebut sebagai manifestasi dirinya yang dapat diakui oleh orang lain. Selain itu, dalam penggunaan produk orang lain, individu juga akan merasakan kepuasan dalam memenuhi kebutuhan manusia dan memperkuat jati diri manusia itu sendiri. Produk-produk yang dihasilkan menjadi cermin dalam merefleksikan jati diri manusia. Namun, dalam produksi yang dilakukan secara kapitalistik, individu berubah menjadi alat guna mencapai target ekonomi dan mesin penghasil laba. Produk-produk yang dihasilkan tidak lagi merefleksikan jati diri individu itu sendiri, melainkan hanya menjadi komoditas yang selanjutnya diserahkan pada relasi pasar. Individu menjadi terasing dari produk kerjanya, sesama manusia, dan diri mereka sendiri. 

Mereka menjadi kehilangan kontrol atas produksi yang mereka lakukan. Dan, akhirnya hanya hidup untuk bertahan hidup. Ini menyebabkan individu kehilangan rasa solidaritas dan kebersamaan dalam masyarakat. Hal inilah yang berdampak negatif pada kesejahteraan mental individu dan masyarakat secara keseluruhan. Marx menyebutnya sebagai alienasi. Lebih lanjut, Marx memaparkan empat jenis alienasi: alienasi dari produk, alienasi dari kerja produksi, alienasi dari hakikat spesies (species essence; gattungswesen), dan alienasi dari manusia lain. Konsep serta jenis-jenis alienasi ini terbukti dalam riset-riset empirik sehingga signifikan untuk diperhatikan dalam memahami fenomena gangguan kesejahteraan mental.

Pengalaman-pengalaman alienasi dapat diteliti sebagai hasil dari eksploitasi tenaga kerja yang berhubungan dengan kesenjangan sosial dan kesejahteraan mental. Konsep ini selaras dengan penjelasan psikososial yang tidak memisahkan penjelasan psikologis dan sosial. Psikososial menunjukkan bahwa kesenjangan sosial berdampak pada kesehatan melalui mekanisme psikologis–kesehatan mental. 

Lebih lanjut, pendekatan psiko-sosial menyatakan bahwa alienasi berkontribusi dalam tiga cara penelitian terkait kesenjangan dalam bidang kesehatan. Pertama, alienasi menyarankan mekanisme potensial dan menawarkan prediksi yang dapat digunakan dalam penelitian empiris. Kedua, memberikan penjelasan potensial tentang paradoks negara kesejahteraan. Ketiga, menempatkan determinan psikososial kesehatan dalam analisis kritis terhadap sumber ketidaksetaraan sosial dalam masyarakat kapitalis (Øversveen et al., 2022).

Kita dapat melihat beberapa contoh penerapan konsep ini pada penelitian yang telah ada. Misalnya, dalam sebuah penelitian yang menguji lima hipotesis dari teori bullshit jobs (BS Jobs) David Graeber (2018). Penelitian tersebut menyatakan bahwa BS Jobs menyebabkan ‘kekerasan spiritual’ dan kesejahteraan mental yang buruk. Ditemukan bahwa meskipun prevalensi BS jobs jauh lebih rendah dari yang diperkirakan oleh teori ini, terdapat bukti kuat bahwa perasaan seseorang akan ketidakbergunaan pekerjaannya berkorelasi dengan kesejahteraan mental yang buruk (Soffia et al., 2022). Sebagai contoh di Inggris pada tahun 2015, pekerja yang merasa pekerjaannya tidak berguna memiliki skor kesejahteraan secara signifikan lebih rendah daripada mereka yang merasa melakukan pekerjaan yang bermanfaat. Hasil ini menunjukkan bahwa ‘kekerasan spiritual’ yang digambarkan Graeber sebagai hasil dari BS Jobs membuat pekerja lebih tertekan dan cemas (Eurofound, 2017).

Berangkat dari temuan di atas, pemahaman Marx tentang alienasi dalam menyelidiki hubungan sosial kerja menjadi relevan untuk menjelaskan alasan jutaan pekerja merasa pekerjaan mereka tidak berguna. Dalam pemahamannya tentang alienasi, Marx berpendapat bahwa bekerja di bawah kapitalisme secara inheren akan mengasingkan individu dari kebutuhan esensialnya–realisasi diri. Sebab, hubungan sosial di bawah sistem kapitalisme menggagalkan perkembangan bebas dan kemampuan manusia dalam aktivitas spontan (Seeman, 1959).

Tabel 1. Regresi Alienasi pada Faktor Kerja

Sumber: https://jspp.psychopen.eu/index.php/jspp/article/view/5227 

Pada tabel di atas, kita dapat melihat hubungan antara alienasi dan faktor psikologis yang berkontribusi padanya. Semua faktor pekerjaan menunjukkan korelasi bivariat yang kuat dan signifikan dengan alienasi. Ekspresi diri, kualitas hubungan kerja, kebermaknaan, aktualisasi diri, otonomi, dan motivasi intrinsik di tempat kerja berhubungan negatif dengan alienasi. Sementara eksploitasi yang dirasakan berhubungan positif dengan alienasi.

Gambar 1. Relasi antara alienasi dan konsep kesadaran kelas.

Sumber: https://jspp.psychopen.eu/index.php/jspp/article/view/5227 

Kemudian, pada gambar di atas (Gambar. 1) menunjukkan bahwa konsep kesadaran kelas adalah prediktor alienasi yang paling efektif, dengan partisipan kelas pekerja secara signifikan lebih teralienasi daripada kelas menengah. Faktor kerja yang memprediksi alienasi adalah kurangnya ekspresi diri, kebermaknaan kerja yang rendah, dan eksploitasi yang dirasakan (Sawyer & Gampa, 2020). Sebuah model alienasi kerja dicoba dibuat dan diuji. Ada tiga faktor kerja yang diperiksa sebagai prekursor alienasi, yakni perilaku suara[1], keterampilan dalam pekerjaan, dan persepsi kebermaknaan pekerjaan. 

Hasil riset ini menunjukan bahwa ketiga indikator tersebut berhubungan negatif dengan alienasi. Kemudian, alienasi dikaitkan secara positif dengan kelelahan emosional dan secara negatif dengan kesejahteraan. Kedua hasil ini menunjukkan bahwa alienasi dapat berdampak buruk pada kesehatan dan kenyamanan individu. Sebab, individu yang teralienasi cenderung mengalami tingkat kelelahan emosional yang lebih tinggi dan tingkat kesejahteraan yang lebih rendah (Shantz et al., 2014)

Dari beberapa riset di atas, menurut penulis, dapat disimpulkan bahwa alienasi berkontribusi signifikan pada kesehatan psiko-sosial. Hal ini didukung oleh berbagai penelitian yang menemukan bahwa hubungan antara alienasi, kelas, eksploitasi, dan hubungan kerja yang buruk memiliki konsekuensi negatif bagi kesejahteraan mental dan kesejahteraan secara keseluruhan. Pekerja dikondisikan merasa terasing, terisolasi, dan sendirian oleh sistem kapitalisme. Sebab, hubungan produksi kapitalistik terikat dengan alienasi betapapun banyaknya program kesejahteraan ala sosial-demokrasi. Alienasi inheren dalam kapitalisme, ia termaktub di dalamnya. Ketika ada kapitalisme, di sana ada alienasi. Dan, ketika ada alienasi, di sana ada gangguan kesejahteraan mental. 

Nabi Palsu itu Berupa Solusi Individualistis

Lantas, bagaimana respon status quo akan masalah tadi? Kapitalisme-neoliberal mengindividualisasi permasalahan kesejahteraan mental. Ia mempromosikan pemahaman bahwa kebahagiaan dalam masyarakat adalah soal tumpukan harta, prestise, gensi, dan pencapaian-pencapaian besar dalam hidup. Apa yang dikatakan normal seringkali diukur dengan keterangan-keterangan di atas. 

Penggunaan obat-obatan psikotropika dan fokus pada medikalisasi menjadi contoh bahwa kapitalisme-neoliberal hanya menekankan pada individualisme. Ia mengabaikan aspek sosial dan memandang bahwa pemikiran, serta perilaku yang tidak fungsional (sesuai dengan kebutuhan pasar), produktif, atau diinginkan (oleh pasar) sebagai sesuatu yang patologis. Dengan demikian, kapitalisme-neoliberal mempromosikan individualisme dalam memahami dan menangani permasalahan kesejahteraan mental (Esposito & Perez, 2014).

Kita boleh membaca ini sebagai upaya pemodal untuk melakukan segala yang mereka bisa untuk mempertahankan sistem eksploitatif yang memberi mereka kekayaan dan kekuasaan. Sebab, bentuk kepengaturan ala neoliberal menghasilkan krisis gangguan kesejahteraan mental yang seakan hendak selesaikan dengan mengabaikan faktor sosial  dan memangkas layanan sosial. Ingatlah soal hubungan gelap antara neoliberalisme, managerialism, dan kebijakan publik (McGregor, 1970). Obsesi terhadap medikasi dan kecenderungan untuk memperlakukan “gangguan kesejahteraan mental” sebatas masalah individual terus didukung dalam logika neoliberal yang berlaku. Dapat ditebak siapa yang diuntungkan dari logika neoliberalisme. Logika neoliberalisme sama halnya meningkatkan ketimpangan pendapatan secara signifikan dan menurunkan kohesi sosial (Elgar, 2010)

Semua diprakarsai dan dinikmati oleh satu kelompok. Terkadang disebut kelas pengusaha, terkadang disebut kelas pemodal. Barangsiapa yang duduk lebih rendah dalam masyarakat, semakin buruk kemungkinannya dalam kesejahteraan mental. Begitu bunyi hukumnya. Hal ini tidak mengherankan. Dalam konteks masyarakat hari ini, ketika rata-rata masyarakat bekerja selama 40 jam dalam satu minggu dan ekonomi informal mendominasi kerja hari-hari, maka benarlah apa yang dikatakan The Adams dalam lagunya “Timur”, “Masa depan kadang menakutkan penuh dengan ketidakpastian”. 

Mark Fisher (2009), seorang filsuf dari Inggris menyatakan bahwa ada kebutuhan untuk memandang kembali masalah stres dan penderitaan yang terjadi di masyarakat kapitalis. Ketimbang menempatkan tanggung jawab menyelesaikan tekanan psikologis pada individu, fenomena privatisasi besar-besaran stres selama tiga dekade terakhir harus diakui dahulu sebagai kenyataan. Lalu, perlu dipertanyakan mengapa begitu banyak orang, terutama kaum muda, mengalami kesulitan kesejahteraan mental. Wabah kesejahteraan mental dalam masyarakat menunjukkan bahwa sistem kapitalisme hari ini memang tidak berfungsi secara inheren dan menghasilkan biaya yang sangat tinggi untuk menjadikannya berfungsi (Fisher, 2009).

What Is To Be Done

Njuk piye? Lantas bagaimana? Apakah, lagi-lagi, kelas pekerja harus menelan ludah sambil berkomat-kamit sesuai arahan Kraton, ‘tuk nrimo? Kalau Bung Karno boleh berujar, “Sekali-kali tidak!”

Yang pertama dan terutama, jika memungkinkan, carilah bantuan profesional. Seperti judul dari tulisan ini, ayo ke psikolog! Individualistik? Memang. Tulisan ini tidak meremehkan kerja-kerja yang dapat dilakukan diri sendiri dalam menghadapi apa yang dialaminya, karena kerja individualistik dan kerja kolektif tidak perlu dipertentangkan. Seperti yang dikatakan oleh Zizek dalam debatnya dengan Jordan Peterson pada tahun 2019 bahwa “membersihkan kamar sendiri” dapat dilakukan bersamaan dengan mengubah masyarakat.

Setidak-tidaknya, pergi ke profesional dapat membantu orang-orang biasa seperti kita untuk bertahan. Untuk menghadapi suara-suara yang mengganggu tidur kita, menyorot bayang-bayang yang menguntit dan menakuti, dan menenangkan jantung yang berdegup kencang. Pergi ke profesional yang tepat membantu kita melewati jurang terjal bernama gangguan kesejahteraan mental agar kita semua dapat melanjutkan nafas kita dalam dunia ini, setidaknya dengan lebih tenang. Tidak perlu malu, tidak perlu gengsi. Jangan takut, jangan kuatir. 

Setelah itu, ada beberapa hal lain yang dapat didorong bersama-sama sebagai agenda publik, diantaranya:

  1. Tuntutan akan pelayanan kesejahteraan mental yang lebih baik harus selalu mencakup tuntutan akan pelayanan kesehatan umum yang lebih baik dan sebaliknya.
  2. Layanan kesehatan, termasuk layanan kesejahteraan mental bersifat prima jika bersifat universal, komprehensif, dan didanai secara kolektif oleh pajak; digunakan dan diselenggarakan secara gratis dan demokratis.
  3. Secara kolektif, tuntutan serikat pekerja untuk lebih mengontrol proses kerja dan produk oleh pekerja pada umumnya akan mengurangi eksploitasi dan alienasi, meningkatkan kualitas barang dan jasa, dan meningkatkan kesejahteraan mental.
  4. Tuntutan untuk peningkatan kesejahteraan sosial dan kontrol pekerja atas perumahan, pekerjaan, dan layanan sosial sangat penting bukan hanya untuk meningkatkan kesejahteraan mental bagi mereka yang membutuhkan tetapi juga mereka yang bekerja di layanan ini.

Selain langkah parsial untuk menghadapi alienasi serta masalah gangguan kesejahteraan mental melalui reformasi dalam sistem kapitalisme-neoliberal, perlu langkah lanjutan untuk menuntaskan masalah ini sampai ke akar-akarnya. Diperlukan reorganisasi masyarakat, sebuah restrukturisasi ekonomi-politik. Perombakan sistem dimana tidak ada lagi alienasi, eksploitasi manusia atas manusia, dan tidak ada lagi pil pahit bernama kenestapaan yang musti ditelan atas nama berputarnya roda kehidupan. Di bawah kapitalisme, kita semua sakit. 

Diperlukan penyelenggaraan masyarakat dengan prinsip “dari masing-masing menurut kemampuannya, untuk masing-masing sesuai dengan kebutuhannya”. Entah apa nama sistemnya, entah bagaimana mencapainya. Mungkin hanya Tuhan, Karl Marx, dan pembaca yang tahu. Tetap semangat dalam perjuangan melawan suara bising yang memenuhi kepala. Kita tidak akan kehilangan apapun kecuali rantai yang membelenggu kita!

Referensi

  1. Istilah ‘perilaku suara’ saat pertama kali muncul dalam diskursus akademis awalnya disamakan dengan pengaruh pekerja melalui keanggotaan serikat pekerja dan perundingan bersama (Freeman & Medoff, 1984). Sebagai konsekuensi dari penurunan keanggotaan serikat pekerja dan pergeseran ke arah bentuk-bentuk alternatif perwakilan pekerja, istilah ‘suara’ sekarang mengacu pada berbagai mekanisme untuk memungkinkan pekerja ‘bersuara’ tentang apa yang terjadi di organisasi mereka.
  2. Amanda Shantz, Kerstin Alfes, & Catherine Truss. (2012). Alienation from work: Marxist ideologies and twenty-first-century practice. The International Journal of Human Resource Management. https://doi.org/10.1080/09585192.2012.667431
  3. Asian Development Bank. 2010. The Informal Sector and Informal Employment in Indonesia. Diakses 29 Maret 2023. https://www.adb.org/sites/default/files/publication/28438/informal-sector-indonesia.pdf 
  4. Elgar. (2010). Income inequality, trust, and Population Health in 33 countries. https://www.semanticscholar.org/paper/Income-inequality%2C-trust%2C-and-population-health-in-Elgar/ad72791e78388eb1a47b6d6a77ff48b65f7436c3
  5. Emil Øversveen., & Conor, A. (2022). Alienation: A useful concept for Health Inequality Research. SAGE Journals. 50 (7). https://doi.org/10.1177/14034948221085394 
  6. Fisher, M. (2022). Capitalist realism: Is there no alternative?. Zer0 Books. 
  7. Global Burden of Disease. Institute for Health Metrics and Evaluation. (2019).  https://vizhub.healthdata.org/gbd-results/
  8. Hollingshead, AB., Redlich, FC., (2007). Social Class and Mental Illness: A Community Study. American journal of public health, 97(10): 1756–1757. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1994199/ 
  9. Horizons. (2023). Working Hours and Days in Indonesia. Diakses 28 Maret 2023. https://nhglobalpartners.com/countries/indonesia/hiring-employees/working-hours-and-days/#:~:text=The%20standard%20working%20hours%20in%20Indonesia%20are%2040%20hours%20per%20week
  10. Magdalena Soffia, Alex J.W., & Brendan Burchell. (2021). Alienation is not ‘bullshit’: An empirical critique of Graeber’s theory. SAGE Journals. 36 (5). https://doi.org/10.1177/09500170211015067 
  11. Marx, K. (1844). Marx’s Economic and Philosophic Manuscripts of 1844. Marxist.org. https://www.marxists.org/archive/marx/works/1844/manuscripts/preface.htm 
  12. McGregor, S. (1970). Neoliberalism and Health Care: Semantic scholar. International Journal of Consumer Studies. https://www.semanticscholar.org/paper/Neoliberalism-and-health-care-McGregor/f210ce21001ea618c05f289c04e7c9093fca08ca 
  13. Mental Health Ireland. Mental Health and Wellbeing. (2018). https://www.mentalhealthireland.ie/research/
  14. Luigi Esposito, & Fernando M., Perez. (2014). Neoliberalism and the commodification of mental health. SAGE Journals. 38(4). https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0160597614544958 
  15. Sawyer, J. E., & Gampa, A. (2020). Work alienation and its gravediggers: Social class, class consciousness, and activism. Journal of Social and Political Psychology. https://jspp.psychopen.eu/index.php/jspp/article/view/5227 
  16. World Health Organization. Suicide Data. (2019). https://www.who.int/teams/mental-health-and-substance-use/data-research/suicide-data
  17. Zeira, A. (2022). Mental health challenges related to neoliberal capitalism in the United States. Community mental health journal. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8145185/ 

LEAVE A REPLY