Saat ada pertimbangan antara humor dan filsafat, tak jauh dari bagaimana keduanya saling mengandung ciri satu sama lain. Artinya secara internal keduanya berkorelat. Humor mengandung segi kritis dan imaginatif seperti sering ditekankan banyak filsuf. Beberapa filsuf kadang memakai puisi jenaka, lebih mirip pantun untuk menyampaikan argumentasinya. Seperti J.L. Austin saat menyerang teori persepsi melalui judul tulisannya, Sense and Sensibilia, mirip sebuah permainan kata yang menghibur.
Salah satu grup filsuf yang kaya akan rasa humor ialah apa yang kita sebut eksistensialisme. Tema-tema serupa konflik individu dan lian merupakan keterberian, akhirnya mengkonstruk dan merawat kelucuan, terlebih lagi tragik. “Hell is other people,” salah satu tokoh Sartre dalam No Exit berseru. “People – they’re the worst,” kata Elaine dalam Seinfeld, sekaligus representasi mulut Sartre.
Secara umum, eksistensialis menekankan segi problematik kehidupan ini. Laiknya kata Mark Twain, “sumber tersembunyi dari humor bukanlah kesenangan, namun kepedihan. Tiada humor di dalam surga.” Kita juga ingat kata pemikir kontemporer Nietzsche, manusia adalah satu-satunya hewan yang bisa tertawa karena ia menderita kesendirian yang sangat dalam.
Barangkali, tema besar yang dibawa eksistensialisme dan komedi yakni absurditas: sebuah pengalaman hidup umat manusia, keseluruhan kondisi kemanusiaan. Basis kondisi dalam film-film Charlie Chaplin misalkan, memiliki keserupaan dengan apa yang digadang oleh Heidegger sebagai keterlemparan, menemukan diri kita sendiri dalam situasi yang tak pernah kita pilih tapi disitulah tetap harus bertindak. Tanpa script, seperti film Chaplin, kita terus mengikuti dan melaluinya.
Dua tema besar dalam eksistensialisme telah menjadi teori humor. Pertama, ketidakmampuan penalaran menangkap dunia pengalaman. Intisari analisis humor Scopenhauer itu berdasar pada ketidaksesuaian antara konsep dan persepsi, dalam melihat sesuatu yang keras nan kasar, melelahkan, hal menyusahkan, dan sebuah penalaran.
Gagasan eksistensialis lain yang menjadi teori humor ialah perbedaan kategoris antara manusia dan benda, dan ketidakotentikan manusia bertindak layaknya benda. Gagasan itu merupakan formula Henri Bergson dalam Laughter: apa yang kita tertawakan pada kekakuan mekanistik sebenarnya harapan menemukan kehidupan yang lues dalam diri manusia. Fungsi humor, menurut Bergson, untuk menghina seseorang yang infleksibel sampai bertindak secara manusiawi.
Di abad 19, dua pemikir besar yang pertama kali disebut eksistensialis, Kierkegaard dan Nietzsche, memaparkan gagasan dan layak diperhitungkan terkait problem relasi humor dan filsafat. Kierkegaard mengatakan bahwa humor sebagai kesenangan yang dapat mengatasi dunia, dan ia membedakan tiga lapisan eksistensi manusia: estetis, etis dan religius, selain itu ia menggunakan humor dan kedekatannya dengan ironi. “Humor adalah tahap terakhir kesadaran eksistensial sebelum keyakinan,” tulisnya dalam Concluding Unscientific Postscript. Kierkegaard sendiri mengklasifikasikan dirinya sendiri secara esensial seorang humoris. Dalam membicarakan Hegel, misalnya, saat menulis semua kategori dunia-sejarah dan sistem filsafat besarnya, Hegel pergi di hari Jumat untuk membeli kebutuhan sehari-harinya (iwak peyek sepertinya) seperti semua orang. Seperti stan-up komedian saat ini, Kierkegaard menggunakan teknik ironi, komunikasi tak langsung, dan berbicara melalui persona.
Terkait anggapan standar filsafat yang cenderung melawan humor, Kierkegaard memberi kritik dilayangkan pada keseriusan filsafat itu. Seperti seolah-olah kesalahan, ia menuntut, menjadi serius dalam tempat yang salah bak tertawa dalam tempat yang salah.
Elemen utama dalam kelucuan “kontradiksi”, begitu Kierkegaard menyebutnya. Melalui kontradiksi ia bermaksud menunjukkan penyimpangan jalan sebagaimana yang kita harapkan. Kehidupan penuh dengan peristiwa dan kemungkinan-kemungkinan untuk humor. Semakin lama kita mengarungi dunia, kata Kierkegaard, kita bakal menemukan kelucuan. Tragedi, seperti komedi, fokus pada permasalahan, tapi selama perspektif kelucuan melihat jalan keluar, perspektif yang tragik menghilang dari jalan itu.
Nietzsche seperti Kierkegaard, menunjukkan kemungkinan-kemungkinan humor dalam tulisan-tulisannya, dan menggagas pijakan ironik terhadap kondisi umat manusia. Di dalam Sabda Zarathustra, tertawa menandai tindakan bebas Zarathustra, seorang yang dapat mengamini keadaan sakit terus menerus dan mengatakan “Ya” pada kehidupan walaupun semuanya berupa penderitaan. Dalam ucapannya pada orang yang lebih tinggi, Zarathustra menyebut dirinya “nabi yang tertawa” dan mengatakan pada mereka untuk belajar tertawa pada diri sendiri seperti seseorang yang seharusnya tertawa.
Musuh Zarathustra harus dibasmi dengan semangat kegawatan, seseorang mesti membunuh bukan dengan rasa marah tapi dengan tertawa. Kita sekarang masih dalam masa tragedi, sebuah masa penuh moral dan agama-agama, dan komedi eksistensi tidak dapat nampak, tapi dia terlihat kembali pada sebuah masa pencerahan ketika hanya kebijaksanaan menyatu dengan humor, sebuah kebijaksanaan yang menyenangkan. Ia merepresentasikan semangat pencerahan dengan beberapa gambaran yang berhubungan dengan tertawa, menari, bernyanyi dan melayang.
Selama eksistensialis awal ini memperlihatkan tanggapan dan apresiasi terkait humor, eksistensialis di hari kemudian, khususnya Sartre dan Camus, memperlakukan humor secara berbeda. Sartre mengadopsi pandangan seperti Bergson, lebih menekankan pada ofensivitas. Bagi Sartre, seperti bagi Bergson, keganjilan dalam humor ialah antara vitalisme dan mekanisme. Orang-orang begitu menggelikan, tatkala mereka berpikir merekalah sumber tindakan yang sedang dilakukan, senyatanya tindakan itu masih mengikuti keadaan sebelumnya dan faktor luar. Mereka adalah objek yang cenderung menjadi subjek.
Orang-orang benci menertawai, kata Sartre, karena tertawa termasuk sebuah perang melawan pertahanan atau pembalasan dendam. Ketika menertawai seseorang, kita memperlakukan mereka seperti sebuah objek dan menghancurkan solidaritas dengan mereka. Fungsi humor dan tertawa ialah untuk menaruh sosok yang menggelikan di luar kelompok atau bagiannya, lalu mengakui usaha itu sebagai jalan untuk menjadi manusia seutuhnya. Itulah kenapa, Sartre berkata, semua itu sebuah usaha penolakan untuk memberikan seseorang sebagai obyek tertawaan orang lain. Badut dan komedian adalah seorang yang berkhianat pada diri sendiri.
Penjelasan humor seperti itu tidak ada unsur permainan sama sekali, tapi memperlakukan humor selayaknya bentuk interaksi serius lainnya. Tentu saja, dalam pandangan Sartre, humor memiliki tujuan untuk mengiyakan semangat keseriusan. Humor dan tertawa diambil sama seperti reaksi panik, semacam shok atau teror, yang meledakkan bunyi keras pada manusia palsu yang berpura manusia. Walaupun komedi sering kali berupa institusialisasi tawa orang biadab, karakter dengan tingkah laku kebendaannya makanan empuk dan target hinaan kita.
Camus memaparkan apresiasi lebih buruk dari Sartre. Dalam The Rebel dan the Myth of Sisyphus, metafisika pemberontakan Camus sebuah protes melawan keadaan asali seseorang dan keseluruhan dunia, seperti kebanyakan respon autentik pada absurditas kondisi manusia. Di dunia tak ada takdir, kata Camus, absurditas tak bisa diatasi dengan cemoohan.
Permasalahan pertentangan Camus ialah terkait Dewa-Dewa orang Yunani. Pertentangan itu memiliki arti perlawanan pada alam semesta yang impersonal. Protes terhadap kondisi manusia, sekurang-kurangnya bagi atheis seperti Camus, nampak seperti bocah dua tahun yang jarinya terjepret daun pintu. Apakah kita salah memposisikan alam semesta ini? Apakah kita menerima lebih dari kehidupan manusia? Apabila absurditas, ketakberpijakan, jalan tanpa arah, ialah sebuah bentuk yang melatari kehidupan kita, dan itulah yang membuat harga diri kita dimungkinkan, maka perlawanan dan jungkir balik melawan absurditas nampak sinting dan tidak autentik.
Seperti saran Thomas Nagel, apabila alam semesta ini absurd dan tidak ada tujuan, lalu kenyataan yang sedang berjalan bukan lagi sebuah persoalan, dan protes dramatik melawan takdir diri bakal menghilangkan apresiasi kosmis situasi kita sendiri. Semua itu tidak penting, tentu saja, tindakan yang lebih rasional ialah menaruh kelucuan sebagai metode menghadapi dunia, dari pada sebuah ketragisan.
Respon terhadap absurditas seperti yang dilakukan Camus nampak menjadi sisa anakronistik dari heorisme kuno dan tradisi tragiknya, kemudian dikombinasikan dengan romantisisme egosentris. Konsep superman Nietzsche sebagai kontradiktorinya, akan lebih menyenangkan, pahlawan yang menari mentransendensikan tragedi. Dari situ pelajaran yang diajukan bagaimana kita bisa menghadapi dunia tanpa landasan etis dan epistemologis, respon tinggi dan lebih autentik bukanlah pemberontakan tanpa tujuan, tapi humor dan tertawa. Jika kita menghadapi absurditas kehidupan manusia begitu serius, secara paradoks kita musti menghadapinya secara cerah dan benderang.
Dan kata Kierkegaard tentang Hegel, ada benarnya. Semua karya serius dan rumit Hegel, saat menulisnya, ia masih membeli kebutuhan sehari-hari di pasar. (Maqin)