(bpmfpijar.com/Pramodana)
Ratusan massa aksi yang terdiri dari siswa, mahasiswa, serta organisasi ekstra kampus (ORMEK) di Yogyakarta menggelar aksi pada Jumat (2/10). Massa aksi yang menuntut pemerintah untuk fokus pada penuntasan sejumlah isu ini menamai diri mereka Aliansi Masyarakat Resah (AMR) dan menggelar aksi yang bertajuk Kusumanegara Berdering, Tahta untuk Rakyat. Titik aksi berada di Pertigaan Jalan Kusumanegara, Jalan Kenari.
Aksi diawali dengan orasi yang berada di IPDA Tut Harsono kemudian dilanjutkan longmars sembari membagikan bunga mawar kepada warga di sepanjang jalan Kusumanegara, hingga berhenti di titik aksi untuk bergantian dari berbagai organ menyampaikan orasinya.
Adapun tuntutan dari AMR pada hari itu yang dirangkum dalam 6 Suara Keresahan, sebagai berikut: (1) Menolak seluruhnya pengesahan RUU Cipta Kerja; (2) Menuntut pemerintah Indonesia untuk fokus pada penanganan Pandemi COVID-19 serta dampak-dampak yang ditimbulkan; (3) Menuntut Presiden Joko Widodo untuk mencopot Letnan Jendral TNI Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp. Rad., dari jabatannya sebagai Menteri Kesehatan Republik Indonesia; (4) Menuntut pemerintah dan DPR RI untuk menunda pelaksanaan PILKADA Serentak 2020; (5) Menuntut DPR RI memasukkan kembali RUU PK ke dalam Prolegnas Prioritas tahun 2021, dan mengesahkannya pada tahun 2021 juga; dan (6) Memperbaiki sistem pendidikan nasional yang lebih berkeadilan, inklusif, dan ilmiah.
Dalam kesempatan orasi yang diberikan untuk perwakilan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), ia menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap RUU Cipta Kerja, ia menyampaikan bahwa RUU ini merupakan sebuah regulasi yang akan menjadi penindas baru di tanah Indonesia jika disahkan. Ia menyampaikan kemungkinan eksploitasi besar-besaran akan dilakukan sementara rakyat akan diperah seperti sapi. RUU Cipta kerja, dalam orasinya, disampaikan bahwa syarat akan kepentingan oligarki dan orang-orang kaya di Indonesia. Dalam penjelasan lanjutannya, ia mengatakan terdapat pasal yang menyatakan bahwa Hak Guna Usaha (HGU) diperpanjang hingga 19 tahun. Hal ini apabila disepakati akan memperpanjang barisan penindasan.
Perwakilan Kolektif Dewantara Muda menyinggung menggarisbawahi mengenai pendidikan dalam orasinya, “Berbicara mengenai pendidikan, berapa banyak kemudian anggaran yang dianggarkan pemerintah untuk mendongkrak pendidikan di masa pandemi COVID-19 ini? Sekitar 600 triliun lebih anggaran penanganan COVID-19, tapi hanya 53 (triliun) yang dianggarkan untuk pendidikan? Apakah itu adil? Untuk rata-rata perguruan tinggi di Yogyakarta, kita harus mengeluarkan 4 juta untuk satu semesternya, apakah hal itu sebanding?”
Di antara serangkaian orasi yang disampaikan oleh perwakilan kampus, organisasi mahasiswa ekstra kampus, dan organ lainnya, Kelompok Seniman Selatan turut menyuarakan tuntutannya melalui aksi teatrikal yang dibawakan oleh dua orang. Teatrikal yang mengkarakterkan dua pemeran utama antara rakyat dan pemerintah, menyoroti isu penanganan pandemi COVID-19, RUU Cipta Kerja, dan RUU PKS tersebut menjadi sorotan utama massa aksi yang hadir hari itu.
Aliansi Pelajar Yogyakarta yang hadir pada hari itu pun turut menyuarakan urgensi pentingnya dilaksanakan aksi pada hari itu melalui perwakilan yang berorasi, ia menyampaikan ketidakjelasan pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19 dan bagaimana sepatutnya polisi mengayomi rakyat dan bukan menindas. Di antara orasinya, ia menyampaikan akan keturutsertaannya dalam aksi-aksi berikutnya apabila pemerintah tidak kunjung memenuhi tuntutan aksi.
Zaky Fadhila siswa SMKN 4 Yogyakarta, yang tergabung dalam Aliansi Pelajar Yogyakarta, menyampaikan alasannya datang ke aksi ini karena ketidakadilan pemerintah pada masyarakat menengah ke bawah. Kesimpatiannya pada masyarakat menengah ke bawah ini didasarkan pada bagaimana masyarakat menengah ke bawah menjadi golongan yang paling terdampak pada masa pandemi COVID-19 ini, “padahal orang menengah ke bawah mencukupi kebutuhan makan saja belum tentu, sementara masker menjadi kebutuhan utama di masa pandemi COVID-19 ini. Ia pun menyampaikan keturutsertaan pelajar pada aksi ini menjadi penting karena sistem pendidikan daring yang tidak menjangkau seluruh kelas masyarakat perlu disuarakan, ia pun membandingkan dengan pemerintah yang lebih memprioritaskan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) serentak.
Menjelang akhir aksi, seluruh perwakilan organ yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Resah majul ke depan dan membacakan tuntutan kembali yang diberi judul “6 Suara Keresahan”.
(Ayom/Fadil)