Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta Menggelar Aksi Solidaritas Untuk Tempo

0
105
(bpmfpijar.com/Maximillian)

“Dukungan solidaritas teman-teman seperti ini penting, tidak hanya bicara tentang Tempo, tapi juga bicara tentang demokrasi secara keseluruhan; bahwa kita mempertahankan demokrasi, mempertahankan kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi” seru Shinta Maharani, salah satu peserta aksi sekaligus jurnalis Tempo.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta menggelar aksi solidaritas di Universitas Islam Indonesia (UII) Kampus Cik Di Tiro pada Selasa (11/11) sekitar pukul 15.00 WIB. Aksi ini merupakan bentuk solidaritas terhadap Tempo, yang digugat oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman secara perdata dengan nilai Rp200 miliar. “Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta mengajak sebanyak mungkin teman-teman jaringan yang ada di Yogyakarta untuk menyatakan dukungan kepada Tempo,” ucap Januardi Husin, selaku ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta. 

Januardi menilai bahwa jika gugatan yang ditujukan kepada Tempo dikabulkan, maka otomatis akan membangkrutkan Tempo sebagai media massa di Indonesia. Menurutnya, hal tersebut merupakan salah satu bentuk ancaman terhadap kebebasan pers. “Jika gugatan ini dikabulkan, maka otomatis akan membangkrutkan Tempo, dan itu sama saja dengan pembungkaman terhadap pers, dan jurnalisme di Indonesia. ” tutur Januardi. 

Januardi menambahkan bahwa Tempo selama ini dikenal sebagai media massa yang konsisten dalam memperjuangkan berita-berita yang kritis terhadap pemerintah. “Media-media seperti Tempo  yang selama ini kritis terhadap pemerintah, dan itu yang saya pikir sekarang trennya memang ke arah sana,” ungkap Januardi. Ia menduga, para elit merasa terganggu dengan kehadiran media kritis seperti Tempo, dan mencoba untuk  mengontrol keberadaan di Indonesia.

Upaya kontrol pers oleh pemerintah, menurut Januardi, dibuktikan melalui penetapan undang-undang ITE yang justru digunakan sebagai celah kewenangan sengketa pers. Januardi mengatakan, “Mereka, yang nggak suka pemberitaan kritis, memainkan ITE sebagai salah satu cara gugatan perdata untuk sengketa pers.” Januardi menegaskan pernyataannya dengan membeberkan korban ketidakadilan yang dialami jurnalis: Muhammad Saleh, Muhammad Sadli, dan Dian Anta yang telah dijebloskan di penjara oleh pemerintah.

Di sisi lain, Shinta, peserta aksi yang lain, menyebut bahwa kejadian seperti ini menjadi peringatan yang mengancam kebebasan pers sebagai pilar keempat demokrasi. “Ketika mereka mau bersikap kritis atau menulis puitis, mereka menjadi ketakutan atau berpikir dua kali untuk menulis berita-berita yang kritis terhadap pemerintah gitu, loh,” jelas Shinta. Baginya, ancaman terhadap Tempo merupakan peringatan bagi iklim demokrasi di Indonesia.

Lebih lanjut, Shinta membeberkan bahwa kebebasan pers telah dijamin oleh pemerintah yang  tercantum dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan diperkuat dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: XVII/MPR/1998  tentang Hak Asasi Manusia, “Kalau kita mau menuju masyarakat yang sehat dalam konteks demokrasi, ya, maka seharusnya kebebasan pers itu dijamin oleh pemerintah,” tegas Shinta. 

Menyikapi persoalan ini, Shinta menegaskan bahwa segala bentuk dukungan kolektif masyarakat dalam mengawal kebebasan pers sangat diperlukan, karena hal tersebut menyangkut  nilai-nilai penting dalam kebebasan pers di Indonesia, serta menjadi bentuk perlawanan terhadap ancaman yang mengganggu demokrasi. “Ya, saya kira tidak ada kata lain selain kita melawan— melawan berbagai bentuk serangan terhadap kebebasan pers,”, ujarnya.

Melalui aksi solidaritas ini, Haris, selaku perwakilan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta,  berharap bahwa kehadiran pers dapat dijamin kebebasannya oleh pemerintah. “Pers itu harus bebas, harus kita ingat bahwa pers adalah pilar keempat demokrasi, ketika dia dibredel, ketika dia dibungkam dan direpresi, artinya demokrasi kita sudah rusak,” tegas Haris. Di akhir pengakuannya, Haris menegaskan bahwa kasus Tempo sebagai media independen yang mendapat gugatan merupakan ancaman terhadap keberadaan media kritis lainnya.

 

 

 

Penulis : Marko Galileo (Magang)
Artistik : Maximillian Chandra (Magang)
Editor : Zidad Arditi

LEAVE A REPLY