Pada hari Kamis (05/10), Majelis Mahasiswa Universitas Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (MMU-KBM UST) mengadakan Aksi Kamisan di Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Aksi ini dilatarbelakangi oleh tindakan premanisme yang terjadi di kampus Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST).
Pada aksi yang sebelumnya dilangsungkan pada Jumat (29/09) oleh Aliansi Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (KBM-UST) di kampus pusat UST, terjadi penahanan pada empat orang massa aksi demonstrasi. Hal ini menjadi titik awal dikawalnya Aksi Kamisan. Wahyu Wicaksono, sebagai salah satu mahasiswa UST angkatan 2019, menjelaskan bahwa aksi sebelumnya bertujuan untuk menggaungkan tindakan unilateral pihak kampus yang menghentikan Ketua Majelis Mahasiswa Universitas (MMU) dan anggota divisi eksternal serta internalnya.
“Di situ dipecat gara-gara indikasinya ada satu persoalan yang kita asumsikan bahwasanya adanya tindakan membuat diskusi yang memang ada larangan dari pihak kampus sendiri,” ujar Wahyu.
Lebih lanjut, Wahyu menuturkan bahwa situasi ini kemudian memunculkan ketegangan setelah empat anggota massa aksi dari Fakultas Teknik UST ditangkap, dengan salah satunya menjadi korban pemukulan. Pihak kampus juga mengambil tindakan untuk menahan Kartu Tanda Penduduk (KTP) keempat mahasiswa tersebut.
“Empat korban ini mengalami gangguan psikis dan mental akibat intimidasi dari pihak kampus,” lanjutnya. Sebagai respons, MMU UST mengadakan Aksi Kamisan sebagai tindakan lanjutan yang mengutuk penahanan dan pemukulan. Aksi ini memfokuskan perhatian pada tindakan tersebut dan secara tegas mengecam tindakan tersebut.
“Hari ini kita tetap mengawal adanya pemukulan empat orang mahasiswa yang menjadi korban premanisme,” ucap Wahyu. Ia menegaskan bahwa hak-hak mahasiswa harus tetap diperjuangkan dan tindakan represi tidak boleh diabaikan. “Hanya ada satu kata: lawan.”
Arya Dewi Prayetno, selaku Koordinator Daerah BEM Nusantara DIY, dalam orasinya menekankan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pihak kampus UST merupakan satu rapor buruk untuk pendidikan di Indonesia. Pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi yang terjadi menunjukkan bahwa terdapat kecacatan dalam pendidikan. “Maka dari itu, tidak heran ketika memang indeks demokrasi di negara ini kian hari kian menurun,” tegas Arya.
Arya juga menambahkan bahwa Aksi Kamisan yang dilaksanakan merupakan perlawanan terhadap pembungkaman di ruang akademik. Adapun, aksi kamisan merupakan wujud dari komitmen dan konsistensi dalam menyuarakan apa itu demokrasi. “Hari ini adalah salah satu percikan api yang harapannya akan semakin mengobarkan semangat kita dalam berjuang untuk memperjuangkan hak dari kawan-kawan,” ujar Arya.
Lebih lanjut, tindakan represi yang dilakukan oleh pihak kampus UST dapat menjadi contoh bagi kampus-kampus lain. Hal ini, menurut Arya berpotensi menciptakan suasana otoriter dalam dunia pendidikan. Arya berharap agar kebebasan berbicara, berekspresi, dan berdemokrasi yang benar-benar dilindungi. “Ini bukan lagi zamannya otoritarianisme,” tegasnya.
Azhar Muma, mahasiswa UST angkatan 2020, dengan tegas mengungkapkan kritiknya terhadap sistem birokrasi yang berjalan di kampus tersebut. Menurutnya, birokrasi yang ada telah menyimpang dari esensi pendidikan yang seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan kecerdasan bangsa. Azhar merasa bahwa peran penting pendidikan telah mengalami distorsi yang signifikan akibat intervensi birokrasi.
“Kita dihadapkan dengan pembungkaman-pembungkaman ruang demokrasi dan kritik dilarang oleh para birokrasi,” tegas Azhar. Ia menjelaskan bahwa birokrasi di kampus menghambat fasilitas untuk kegiatan mahasiswa “Saya menyampaikan ini sesuai dengan kondisi riil yang saya hadapi di kampus UST.“
Selain itu, Azhar juga menyoroti proses pembelajaran di kampus UST. Ia mengungkapkan bahwa beberapa dosen di UST terlibat dalam praktik hegemoni dan doktrinasi. Hal itu, menurut Azhar, bertujuan untuk menghindarkan mahasiswa dari melaksanakan demonstrasi untuk memperjuangkan keadilan terhadap birokrasi. Dosen juga mengancam akan mengurangi nilai mahasiswa yang berpartisipasi dalam aksi demonstrasi. “Padahal, hal tersebut tidak sinkron dan tidak logis terhadap kontrak kuliah yang diberikan,” lanjut Azhar.
Rangkaian orasi yang menggema resmi berakhir pada pukul enam sore. Dalam aksi ini, tuntutan kepada pihak kampus meliputi pembukaan ruang demokrasi yang lebih luas, jaminan terhadap kebebasan berbicara di lingkungan akademik, pencabutan SK (Surat Keputusan) rektor terkait dengan pemecatan organisasi dan pengelolaan kampus, serta perbaikan regulasi yang menjadi perdebatan di UST. Dengan aksi ini, Wahyu berharap intimidasi di lingkungan kampus dapat dihapuskan sepenuhnya.
“Jangan sampai gerakan-gerakan mahasiswa itu diintervensi atau dikerdilkan pemikirannya,” tutup Wahyu.
Penulis: Giovanni Ramadhani, Fadillah Akbar (Magang)
Penyunting: Muhammad Huda Alima Salim
Ilustrator: Ester Veny (Magang)